Negara Ini Perlahan Berubah Kapitalis

February 18, 2019


"PENGUMUMAN..!!
Diberitahukan kepada seluruh siswa SMP N 1 Demokrasi agar segera melunasi pembayaran SPP Pembayaran paling lambat H-3 sebelum ujian dilaksanakan. Bagi yang belum melunasi pembayaran sampai dengan batas waktu yang ditentukan tidak diperbolehkan mengikuti ujian." Begitulah pengumuman yang disampaikan oleh ketua kelas VII A.

Moment ujian merupakan moment yang menetukan segalanya, termasuk nilai yang akan tertera pada lembar hasil studi milikku. "Kuharap kali ini aku bisa mengikuti semua ujian nanti," gumamku dalam hati sembari menatap keluar jendela.

KRIIINGGGG......!
"Baik anak-anak, pembelajaran untuk hari ini dicukupkan sampai disini. Siapkan diri kalian untuk ujian yang akan mendatang. Jangan lupa juga beritahu ayah atau ibu kalian untuk segera melunasi biaya SPP untuk registrasi ujian," Pesan pak guru kepada murid-muridnya yang dari tadi sudah siap untuk pulang.

Aku sudah biasa dengan perjalanan pulang. Untuk pulang aku harus berjalan dulu sejauh 3 Km agar bisa mendapatkan boncengan ke rumah. Teman-teman sedesaku rata-rata sudah memakai kendaraan bermotor, hanya aku sendiri yang masih menggunakan cara ini. Namun, entah kenapa jarang atau bahkan hampir tidak ada yang menawariku boncengan untuk pulang ke rumah. Memang itu menyakitkan, tapi aku sudah terbiasa.

Selama mencari boncengan banyak yang menggangu pikiranku, termasuk dengan biaya ujian harus aku lunasi. "Bagaimana caraku ngomong ke ibuk? padahal 3 hari yang lalu aku baru saja minta uang ke ibu untuk memfotocopy bank soal," pikiranku runyam. "Son...Son...!!!Ayo ikut pulang sekalian" sebuah terriakan dari tetanggaku yang tepat berhenti didepanku menyadarkanku dari lamunanku. "Ehh...iya mas...sebentar," sahutku pada mas Sam.

Sampai dirumah aku langsung sembayang dan berdoa agar diberikan bantuan, dalam hati aku merasa sedih dan bingung bagaimana harus ngomong ke ibu, padahal bapakku hanya bekerja sebai buruh tani. Sebenarnya kedua orang tuaku sangat mengharapkan aku mendapat bantuan seperti teman-temanku yang lain untuk membayar sekolah. Namun, sayangnya harapan itu kandas, entah kenapa sejak SD aku dan adik-adikku tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk membayar sekolah kami.

Suara adzan maghrib membangunkanku, segera setelah mandi aku langsung sembyang. "Son...cepat sini makan...," teriak ibuku dari depan televisi. "Iya buk, sebentar," kataku sembari mengelap air mata setelah berdoa. Aku langsung bergegas untuk makan bersama keluargaku. Menu makan malam kali ini adalah sambal dengan lalapan daun singkong.

"Buk, sepatuku sudah jebol. Beliin ya bu," seru adikku ditengah kegiatan makan malam kami. Mendengar itu dadaku terasa sesak dan air mataku seakan tak terbendung, tapi aku tidak boleh terlihat sedih didepan keluargaku terutama adikku yang polos ini. "Iya, nak. nanti setelah ayahmu gajian kita pergi beli sepatu," sahut ibukku.

Keesokan harinya aku masih terpikirkan bagaimana harus membayar uang sekolahku. Tiba-tiba aku teringat dengan celengan kendi dibawah meja kamarku. "Mungkin sudah saatnya aku memecahkan celenganku," pikirku. Hari ini teman-temanku sudah membayar uang SPP. Sebelum pulang sekulah aku dipanggil oleh wali kelasku dan ditanyai kapan melunasi SPPku. Aku hanya bisa berkata "secepatnya" kepada wali kelasku

Sesampainya dirumah, aku langsung saja memecahkan celenganku yang tadinya ingin aku gunakan untuk membeli handphone karena memang handphone yang aku miliki sudah rusak, dengan layar monitor yang sudah pecah. Namun, niat itu harus kuurungkan dulu karena hal ini memang lebih penting. Sayangnya, uang dari celenganku masih kurang Rp 75000. Aku harus memutar otak agar bisa mendapatkan uang tambahan untuk melunasi pembayaran SPPku.

Hari ini adalah hari terakhir untukku melunasi SPPku. Namun, uang yang aku miliki masih kurang Rp 50000, aku benar-benar bingung. Aku sangat berharap bisa mengikuti semua ujian kali ini. Selama pelajaran berlangsung aku terus memikirkan hal itu. "Apa yang harus aku katakan, agar aku tetap bisa mengikuti keseluruhan ujian," gumamku dalam hati. Pikiranku bercampur aduk tentang ujian, SPP, perekonomian keluarga, kedua orang tuaku dan masih banyak lagi.

Melihat teman-temanku yang mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk sekolahnya, aku merasa dikhianati oleh negara ini, aku merasa tidak ada keadilan didunia ini untukku. Kucurahkan isi hatiku pada bagian belakang buku pelajaran kesukaanku. Kuluapakan emosiku dengan coretan pada buku itu, buku itu merupakan saksi bisu dari apa yang selama ini aku alami.

Uang celenganku sudah kubayarkan. Namun, karena jumlahnya yang kurang aku tidak bisa mengikuti keseluruhan ujian yang akan diselenggarakan. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamar, kukunci pintu kamar itu agar tak seorangpun dapat memasukinya dan merasakan hawa kesedihan pada ruangan itu. Kubuka handphoneku lalu kuluapkan emosi dengan game action yang memang sengaja aku install sebagai media meluapkan kemarahanku.

Sambil memainkan game itu, pikiranku berkecimpung kemana-mana. Aku terus saja berpikir bagaimana negara ini berjalan, kenapa selalu saja ada penindasan, kenapa masih banyak ketidakadilan. Pikiran itu terus membekas dalam kepalaku, sudah ketiga kalinya aku tidak bisa mengikuti ujian secara lengkap hanya karena masalah uang. Aku bertanya-tanya apakah benar negara ini negara demokrasi, kalau iya apakah sistemnya seperti ini? Tidakk...! bukan seperti ini sistem demokrasi yang sesungguhnya. Aku merasa negara ini perlahan berubah kapitalis.

Terkadang Tanpa Disadari Negara Demokrasi Berubah Menjadi Kapitalis Melalui Pendidikannya (Andhika Putra Agus Pratama).

3 comments:

Powered by Blogger.